Batang Hari, Jambi – Kementrerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) jangan tutup mata terkait dengan persoalan Sembilan stockpile Batubara yang tidak memiliki izin di dalam wilayah Kabupaten Batang Hari Jambi, Minggu (12/06/2022).
Hal ini mengingat ada Sembilan perusahaan batubara yang tidak memiliki stockpiling , yang terdiri dari PT Bara Hitam Jaya (BAJ), Batu Hitam Sukses (BHS), BHS 2, Kasongan, Kurnia Alam Investama (KAI 3) miliki Junai, Bumu Bara Makmur Mandiri (BBMM) 2, KAI 1, KAI 2 dan Nangriang/BBP (Bara Batu Pratama).
Heriyanto, S.H, .C.L.A mengatakan, bedasarkan nama pemilik stockpile atau pelaku usaha pada tanda terima surat pemberitahuan nomor 503/673/DPMPTSP Tertanggal 22 April 2022 merupakan tanda nama perusahaan dan sudah ditandatangani oleh masing-masing pihak.
“Persoalan ini baru ditindaklanjuti oleh pihak Pemerintah Daerah Batang Hari saja, dalam hal ini Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) Batanghari dan ini harus segera dilaporkan kepada pihak kementerian, agar semua pihak bertanggungjawab akan sector pendapatan Negara, ” kata Heriyanto, yang merupakan putra Kecamatan Mersam.
Ia juga mengatakan, seperti dalam Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 5 Tahun 2021, tentang standar kegiatan usaha dan produk pada penyelenggara perizinan berusaha berbasis risiko sector ESDM dan standar kegiatan usaha dan produk pada penyelenggara perizinan berusaha berbasis risiko subsector mineral dan batubara.
“Justru saat ini banyak pelaku usaha yang tidak memilik izin dan ini termasuk tindakpidana dalam pertambangan menurut undang-undang minarba Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan minarba dan telah meyiadiakan berbagai regulasi pelanggaran, ” ujarnya.
Menurutnya, adapun jenis-jenis tindak pidana dalam pertambangan batubara itu, pertama, tindak Pidana Melakukan Pertambangan Tanpa Izin. Dimana, kegiatan penambangan dimana pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan kegiatan penambangan yang illegal. Hal itu termasuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU Minerba yang menyatakan bahwa kegiatan Penambangan tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Kedua, tindak pidana menyampaikan data laporan keterangan palsu. Dimana, dalam melakukan kegiatan penambangan, diperlukan data atau informasi yang benar yang diberikan oleh pelaku usaha terkait, seperti data studi kelayakan, laporan kegiatan usaha, laporan penjualan hasil tambang, dan lain-lain untuk dipertanggungjawabkan.
Penyampaian laporan tersebut menjadi sebuah kewajiban bagi pelaku usaha pertambangan kepada pemerintah. Sehingga, apabila terdapat perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar akan dikenai sanksi pidana. Hal ini termasuk juga dengan perbuatan manipulasi data terkait.
Sehingga secara yuridis, Pasal 159 UU Minerba menyatakan bahwa Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan atau keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 milar.
Ketiga, tindak pidana melakukan operasi produksi di tahapan eksplorasi. Dimana dalam memperoleh perizinan pertambangan, terdapat prosedur-prosedur yang tentunya harus diikuti dengan tertib oleh para pelaku usaha. Tidaklah diperbolehkan adanya potong kompas atau melompati prosedur yang ada.
Sebagai contoh, pada tahapan eksplorasi, pengusaha pertambangan minerba dilarang melakukan tahapan berikutnya, yakni operasi produksi, tanpa seizin pemerintah. Tindakan potong kompas tersebut ialah pelanggaran hukum yang diatur dalam Pasal 160 ayat (2) UU Minerba. Tidak main-main, perbuatan ini diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Keempat, tindak pidana memindahtangankan perizinan kepada orang lain. Dimana perizinan menjadi bukti yang mendasari dilaksanakannya kegiatan penambangan. Hanya pemilik perizinan saja yang diperbolehkan melakukan kegiatan penambangan.
Tidaklah diperbolehkan apabila perizinan yang telah diberikan oleh pemerintah tersebut dialihkan kepada pihak lain yang tidak berwenang tanpa memberitahukan kepada pemerintah. Dalam hal ini, Pasal 161 A UU Minerba menyatakan bahwa Setiap pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang memindahtangankan IUP, IUPK, IPR, atau dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Kelima, tindak pidana tidak melakukan reklamasi dan pascatambang. Dimana, aktivitas penambangan jelas merupakan aktivitas yang merusak lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan pertambangan wajib melakukan penambangan yang bertanggung jawab melalui kegiatan reklamasi dan pascatambang, pun berikut dengan menyediakan dana jaminannya.
Terdapat sanksi berat yang menanti apabila pengusaha pertambangan mangkir dari kewajibannya ini. Pasal 161B ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa para pemegang izin pertambangan yang mangkir dari kewajiban ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Keenam, tindak pidana menghalangi aktivitas penambangan yang Legal. Dimana, ketika izin telah dipegang oleh perusahaan pertambangan, maka aktivitas penambangan dapat dimulai. Dalam hal ini, UU Minerba juga memberikan proteksi terhadap kelangsungan aktivitas pertambangan yang sah tersebut. Hal ini dengan adanya Pasal 162 UU Minerba yang menyatakan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100 miliar.
“Hal ini tentu berbahaya, sebab dapat membuka keran kriminalisasi perusahaan pertambangan yang tidak mentaati aturan yang berlaku, seperti contoh kesembilan pelaku usaha yang tidak memiliki izin stockpile batubara sesuai dengan Permen ESDM nomor 5 Tahun 2021, ” tandasnya. (*)